Tuesday 21 November 2017

Kauppa Forex Mui


Hukum Trading Forex Menurut MUI Halal Atau Haram Hukum Trading Forex Menurut MUI Halal aamut Haram Mengingat banyaknya yang mempertanyakan apa hukum kaupankäyntiä forex menurutIslam (meski sudah banyak dikupas) maka berikut ini saya julkaista artikkeli dari Gainscope tentang FATWA MUI TENTANG TRADING FOREX. Di luar sana berkembang juga pendapat yang bersebarangan dengan fatwa MUI ini di mana mereka tetap berpendirian pada bahwa kauppa forex adalah HARAM dengan hujjahargumen yang mereka pegangi. Keputusan berpulang pada dan ada di tangan Anda. Selamat membaca. Fatwa MUI Tentang Jual Beli Mata Uang (AL-SHARF) Pertanyaan ei ole vielä lisännyt seuraavia yrityskauppiaita Indonesia: 1. Apakah Trading Forex Haram 2. Apakah Trading Forex Halal 3. Apakah Trading Forex - vertailu kauppa Agama Islam 4. Apakah SWAP itu Mari kita bahas dengan artikel yang pertama: Valuuttakauppa Dalam Hukum Islam Dalam bukunya Prof. Drs. Masjfuk Zuhdi yang berjudul MASAIL FIQHIYAH Kapita Selecta Hukum islam, diperoleh bahwa Forex (Perdagangan Valas) diperbolehkan dalam hukum islam. Perdagangan valuta asing timbul karena adanya kulkee barang-barang kebutuhankomoditi antar negara yang bersifat internasional. Perdagangan (Ekspor-Impor) ini tentu memerlukan alat bayar yaitu UANG yang masing-masing negara mempunyai ketentuan sendiri dan berbeda satu sama lainnya sesuai dengan penawaran dan perminnan diantara negara-negara tersebut sehingga timbul PERBANDINGAN NILAI MATA UANG antar negara. Perbandingan nilai mata uang antar negara terkumpul dalam suatu BURSA atau PASAR yang bersifat internasional dan terikat dalam suatu kesepakatan bersama yang saling menguntungkan. Nilai mata uang suatu negara dengan negara lainnya ini berubah (berfluktuasi) setiap saat sesuai tilavuus permintaan dan penawarannya. Adanya permintaa dan penawaran inilah yang menimbulkan transaksi mata uang. Yang sekara nyata hanyalah tukar-menukar mata uang yang berbeda nilai. HUKUM ISLAM dalam TRANSAKSI VALAS 1. Ada Ijab-Qobul. --- Ada perjanjian untuk memberi dan menerima Penjual menyerahkan barang ja pembeli membayar tunai. Ijab-Qobulnya dilakukan dengan lisan, tulisan dan utusan. Pembeli dan penjual mempunyai wewenang penuh melaksanakan dan melakukan tindakantindakan hukum (dewasa dan berpikiran sehat) 2. Pidä mielenkiintoinen objekti transaktio jual-beli yaitu: Suci barangnya (syksy) Näkymät Dapat Dapat diserahterimakan Jelas barang dan harganya Dijual (dibeli) oleh pemiliknya sendiri Atau kuasanya atas izin pemiliknya Barang sudah berada ditangannya joki barangnya diperoleh dengan imbalan. Perlu ditambahkan pendapat Muhammad Isa, joka kertoo saamasta itu diperbolehkan dalam agama. Jangan kamu membeli ikan dalam ilmassa, karena sesungguhnya jual beli yang demikian itu mengandung penipuan. (Hadis Ahmad bin Hambal dan Al Baihaqi dari Ibnu Masud) Jual Bari - bangar yang tidak di tempat transaksi diperbolehkan dengan syarat harus diterangkan sifatsifatnya atau ciri-cirinya. Kemudin jumala barang sesuai dengan keterangan penjual, maka sahlah jual belinya. Tetapi jika tidak sesuai maka pembeli mempunyai hak khiyar, artinya boleh meneruskan atau membatalkan jual belinya. Hal ini sesuai dengan hadis Nabi riwayat Al Daraquthni dari Abu Hurairah: 8220Barang ispa yang membeli sesuatu yang tidak melihatnya, maka ja berhak khiyar jika ia telah melihatnya. Jual bewitan tanam yang masih terpendam, seperti ketela, kentang, bawang dan sebagainya juga diperbolehkan, asal diberi contohnya, karena akan mengalami kesulitan atau kerugian jika harus mengeluarkan semua hasil tanaman yang terpendam untuk dijual. Hal ini sesuai dengan kaidah hukum Islam: 8220.Kesulitan itu menarik kemudahan.8221 Demikainen jumala jual beli barang-barang yang telah terbungkustertutup, seperti makanan kalengan, LPG, päivä sebagainya, asalkam diberi etiketti yang menerangkan isinya. Vide Sabiq, op. cit. hal. 135. Mengenai teks kaidah hukum Islamin tersebut dias, vide Al Suyuthi, Al Ashbah wa al Nadzair, Mesir, Mustafa Muhammad, 1936 hal. 55. JUAL BELI VALUTA ASING DAN SAHAM Yang on täynnä dollareita, jotka ovat vaikuttaneet Yhdysvaltain dollarin, Yhdysvaltojen, poundsterling Inggris, ringgit Malaysia dan sebagainya. Apabila antara negara terjadi perdagangan internasional maka tiap negara membutuhkan valuutta asing untuk alat bayar luar negeri yang dalam dunia perdagangan disebut devisa. Misalnya eksportir Indonesia akan memperoleh devisa dari hasil ekspornya, sebaliknya importir Indonesialainen memerlukan devisa untuk mengimpor dari luar negeri. Dengan demikian akan timbul penawaran dan perminathan di bursa valuutta asing. setiap negara berwenang penuh matkaapkan kursin uangnya masing-masing (kurssi adalah perbandingan nilai uangnya terhadap mata uang asing) misalnya 1 dollari Amerikka Rp. 12,000. Namun kursseja ja - perheitä, jotka ovat sopusoinnussa nilai tukar setiap saat bisa berubah-ubah. Pencatatan kurs uang dan transaksi jual beli valuta asing diselenggarakan di Bursa Valuta Asing (AWJ Tupanno et al. Ekonomi dan Koperasi, Jakarta, Depdikbud 1982, hal 76-77) FATWA MUI TENTANG PERDAGANGAN VALAS Fatwa Dewan Syariah Nainen Majelis Ulama Indonesia No: 28DSN-MUIIII2002 tentang Jual Beli Mata Uang (Al-Sharf) a. Bahwa-sanomalehtimäki, joka on rakennettu osittain, ja se on rakennettu transaktioon jual-beli mata uang (al-sharf), joka on rakennettu osaksi maanjäristystä. b. Bahwa dalam urf tahari (tradisi perdagangan) transaksi jual beli mata uang dikenal beberapa bentuk transaksi yang status hukumnya dalam pandangan ajaran islam berbeda antara satu bentuk dengan bentuk lain. C. Bahwa agar kegiatan transaksi tersebut dilakukan sesuai dengan ajaran islamista, DSN memandang perlu menetapkan fatwa tentang al-Sharf untuk dijadikan pedoman. 1. Firman Allah, QS. Al-Baqarah2: 275:. Dan Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. 2. Hadis nabi riwayat al-Baihaqi dan Ibn Majah dari Abu Said al-Khudri: Rasulullah SAW bersabda, Sesungguhnya jual beli itu hanya boleh dilakukan atas dasar kerelaan (antara kedua belah pihak) (HR albaihaqi dan Ibnu Majah, dan dinilai shahih oleh Ibnu Hibban). 3. Hadis Nabi Riwayat Muslim, Abu Daud, Tirmidzi, Nasai, dan Ibn Majah, dengan teks Muslim dari Ubadah bin Shamit, Nabi näki bersabda: (Juallah) emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, syair dengan syair, kurma dengan kurma, dan garam dengan garam (denga syarat harus) sama dan sejenis serta secara tunai. Jika jenisnya berbeda, juallah sekehendakmu jika dilakukan secara tunai .. 4. Hadis Nabi riwayat muslimi, Tirmidzi, Nasai, Abu Daud, Ibnu Majah, dan Ahmad, dari Umar bin Khattab, Nabi näki bersabda: (Jual-beli) emas dengan perak adalah riba kecuali (dilakukan) secara tunai. 5. Hadis Nabi riwayat Muslim dari Abu Said al-Khudri, Nabi näki bersabda: Janganlah kamu menjual emas dengan emas kecuali sama (nilainya) dan janganlah menambahkan sebagian atas sebagian yang lain janganlah menjual perak dengan perak kecuali sama (nilainya) dan janganlah menambahkan sebagaian atas sebagian yang lain dan janganlah menjual emas ja perak tersebut yang tidak tunai dengan yang tunai. 6. Hadis Nabi riwayat muslimi dari Bara bin Azib dan Zaid bin Arqam. Rasulullah näki melarang menjual perak dengan emas sekara piutang (tidak tunai). 7. Hadis Nabi riwayat Tirmidzi dari Amr bin Auf: Perjanjian dapat dilakukan di antara kaum muslimin, kecuali perjanjian yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram dan kaum muslimin terikat dengan syarat-syarat mereka kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram. 8. Ijma. Ulama sepakat (ijma) bahwa akad al-sharf disyariatkan dengan syarat-syarat tertentu 1. Surat dari pimpinah Yksikkö Usaha Syariah Pankki BNI no. UUS2878 2. Pendapat peserta Rapat Pleno Dewan Syariah Kansallinen pada Hari Kamis, tanggal 14 Muharram 1423H 28. maaliskuuta 2002. Dewan Syariah Nasional Menetapkan. FATWA TENTANG JUAL BELI MATA UANG (AL-SHARF). Pertama. Ketentuan Umum Transaksi jual beli mata uang pada prinsipnya boleh dengan ketentuan sebagai berikut: 1. Tidak untuk spekulasi (untung-untungan). 2. Ada kebutuhan transaksi ajautuvat berjaga-jaga (simpanan). 3. Apabila transaksi laukaisee terhadap mata uang sejenis maka nilainya harus sama dan secara tunai (at-taqabudh). 4. Apabila berlainan jenis maka harus dilakukan dengan nilai tukar (kursi) yang berlaku pada saat transaksi dan secara tunai. Kedua. Jenis-jenis transaksi Valuta Asing 1. Transaksi SPOT, yaitu transaksi pembelian dan penjualan valuutta asing untuk penyerahan pada saat itu (yli laskurin) atau penyelesaiannya paling lambat dalam jangka waktu dua hari. Hukumnya adalah boleh, karena dianggap tunai, sedangkan waktu dari hari dianggap sebagai proses penyelesaian yang tidak bisa dihindari ja merupakan transaksi internasional. 2. Transaksi FORWARD, yaitu transaksi pembelian dan penjualan valas yang nilainya ditetapkan pada saat sekarang päivä diberlakukan untuk waktu yang akan datang, antara 2x24 jam näytteet näytä satu tahun. Hukumnya adalah haram, karena harga yang digunakan adalah harga yang diperjanjikan (muwaadah) dan penyerahannya dilakukan di kemudian hari, padahal harga pada waktu penyerahan tersebut belum tentu sama dengan nilai yang disepakati, kecuali dilakukan dalam bentuk eteenpäin sopimusta untuk kebutuhan yang tidak dapat dihindari (lil hajah) 3. Transax SWAP - yhdistelmä on pehmeä, ja se on kallistunut valaistuna, ja se on harmaalla paikalla, ja siinä on merkitty muistiinpanoja. Hukumnya haram, karena mengandung unsur maisir (spekulasi). 4. Transaksi OPTION - toiminto ei ole sallittua, koska se ei ole sallittua, koska se ei ole käytettävissä, vaan se, että yksikkökohtainen valuuttakurssi on laskenut ja jumittunut. Hukumnya haram, karena mengandung unsur maisir (spekulasi). Ketiga. Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan, dengan ketentuan jika di kemudian hari ternyata terdapat kekeliruan, akan diubah dan disempurnakan sebagaimana mestinya. Ditetapkan di. Jakarta Tanggal. 14 Muharram 1423 H 28 Maret 2002 M DEWAN SYARIAH NASIONAL - MAJELIS ULAMA INDONESIA Tulisan lain ja mandaattien lähettämä tieto on tohtori Dr. Mohammed Obaidullah, joka on ollut mukana ISLAMIC FOREX TRADINGissa. 1. Pörssisopimukset Islamin juristien keskuudessa on yleinen yksimielisyys siitä, että eri maiden valuuttoja voidaan vaihtaa spot-periaatteella eri tavalla kuin yhtenäisyys, koska eri maiden valuutat ovat erillisiä yhteisöjä, joilla on erilaisia ​​arvoja tai sisäistä arvoa , ja ostovoiman. Myös tiedemiehistön enemmistö näyttää olevan yleisesti samaa mieltä siitä, että valuutan vaihtoa ei ole sallittua, kun molempien osapuolten oikeudet ja velvollisuudet liittyvät tulevaisuuteen. Laillisten keskuudessa on kuitenkin huomattavaa eroa, kun jommankumman osapuolen oikeudet, jotka ovat samat kuin vastapuolen velvollisuudet, siirretään tulevaisuudessa. Tarkastelemme, tarkastelemme esimerkkiä kahdesta eri maasta, A ja B, jotka kuuluvat kahteen eri maahan, Intiaan ja Yhdysvaltoihin. A aikoo myydä Intian rupiaa ja ostaa Yhdysvaltain dollareita. Käänteinen pätee B: lle. Rupia-dollarin sovittu vaihtokurssi on 1:20 ja kauppaan liittyy 50: n ostaminen ja myyminen. Ensimmäinen tilanne on se, että A maksaa Rs1000: n spot-maksun B: lle ja hyväksyy 50: n B: n maksun Kauppa ratkaistaan ​​pistekohtaisesti molemmista päistä. Tällaiset liiketoimet ovat päteviä ja islamilaisesti sallittuja. Ei ole kaksi mielipidettä samasta. Toinen mahdollisuus on, että liiketoimen selvittäminen molemmista päisteistä siirretään tulevaan päivään eli kuuden kuukauden kuluttua. Tämä merkitsee sitä, että sekä A että B tekisivät ja hyväksyisivät Rs1000: n tai 50: n, mahdollisesti tapauksen, kuuden kuukauden kuluttua. Hallitseva näkemys on, että tällainen sopimus ei ole islamin sallittua. Vähemmistön näkemys pitää sitä hyväksyttävänä. Kolmas tapaus on, että liiketoimi on osittain ratkaistu vain toisesta päästä. Esimerkiksi A maksaa Rs1000: n nyt B: lle B: n lupauksen sijasta maksaa hänelle 50 vuotta kuuden kuukauden kuluttua. Vaihtoehtoisesti A hyväksyy 50 nyt B: stä ja lupaa maksaa Rs1000 hänelle kuuden kuukauden kuluttua. Sellaisten sopimusten hyväksyttävyydestä, jotka ovat bai-salam valuutoissa, on täysin vastakkaisia ​​näkemyksiä. Tämän asiakirjan tarkoituksena on esittää kattava analyysi erilaisista tuomioista ja näiden valuuttamääräisten sopimusten sallimisesta. Ensimmäinen hankintasopimus, johon liittyy vastavalmisteluja spot-pohjaisesti, ei ole lainkaan kiistanalaista. Sellaisen toisen sopimustyypin sallittavuus tai muuten, jossa jonkin vastinarvon toimitus lykätään tulevaisuudessa, käsitellään yleisesti riba-kiellon yhteydessä. Siksi keskustelemme tästä sopimuksesta yksityiskohtaisesti osassa 2, joka käsittelee riba-kiellon kysymystä. Sellaisen kolmannen sopimusmuodon hyväksyttävyys, jossa molempien vastavintojen toimittaminen lykätään, käsitellään yleensä riskien ja epävarmuuden vähentämisessä tai tällaisissa sopimuksissa mukana olevien harhaarien yhteydessä. Tämä on siis pääluokka 3, joka käsittelee ghararin kysymystä. Osa 4 yrittää kokonaisvaltaista näkemystä Sharia-aiheista, samoin kuin sopimusten perusmuotojen taloudellinen merkitys valuuttamarkkinoilla. 2. Riba-kiellon antaminen Valuuttamarkkinoiden sallittavuuteen tai muutoin tehtyjen valuuttasopimusten näkemysten ero1 voidaan jäljittää ensisijaisesti riba-kieltoon. Tarve poistaa riba kaikissa vaihdon sopimuksissa on äärimmäisen tärkeää. Riba on Sharia-kontekstissaan yleisesti määritetty2 laittomana lisäyksenä, joka johtuu vastaarvojen kvantitatiivisesta epätasa-arvosta kaikissa tapahtumissa, joilla pyritään vaihtamaan kahta tai useampaa lajia (anwa), jotka kuuluvat samaan sukuun (jins) ja joita säännellään sama tehokas syy (illa). Riba luokitellaan yleisesti riba al-fadl (ylimäärin) ja riba al-nasia (lykkäys), jotka osoittavat lainvastaisen edun ylimääräisenä tai lykkäyksenä. Ensimmäisen kielto saavutetaan sillä ehdolla, että esineiden välinen vaihtokurssi on yhtenäisyys, eikä kummankaan osapuolen voittoa saa sallia. Jälkimmäinen riba on kielletty hylkäämällä lykkäystä ja varmistamalla, että liiketoimi on ratkaistu paikan päällä molemmilla osapuolilla. Toinen riba-muoto on nimeltään riba al-jahiliyya tai pre-islamilainen riba, joka pätee, kun lainanantaja pyytää lainanottajaa erääntymispäivänä, jos jälkimmäinen asettuisi velan tai kasvattaisi sitä. Korotukseen liittyy alun perin lainatun koron korotus. Riba-kieltäminen eri maiden valuuttojen vaihdossa edellyttää analogista prosessia (qiyas). Ja kaikissa analogisissa harjoituksissa (qiyas), tehokas syy (illa) on äärimmäisen tärkeä rooli. Se on yhteinen tehokas syy (illa), joka yhdistää analogian kohteen aiheeseen analogisen päättelyn käyttämisessä. Fikhin suurimmissa kouluissa on erikseen määritelty sopiva tehokas syy (illa) vaihtosopimusten tapauksessa. Tämä ero näkyy eri maissa olevien paperivaluuttojen analogisessa perustelussa. Kysymys, jolla on huomattava merkitys analogisessa päättelyssä, liittyy paperivaluuttojen vertailuun kullan ja hopean kanssa. Islamin alkuaikoina kulta ja hopea suorittivat kaikki rahojen toiminnot (thaman). Valuutat valmistettiin kulta ja hopea, joilla oli tunnettu sisäinen arvo (niiden sisältämä kulta tai hopea). Tällaisia ​​valuuttoja kuvataan nimellä thaman haqiqi tai naqdain Fiqh-kirjallisuudessa. Nämä olivat yleisesti hyväksyttäviä päävaihtoehtona, joka merkitsee suurta liiketointa. Monet muut hyödykkeet, kuten erilaiset huonommat metallit, toimivat myös vaihtoehtona, mutta rajoitetusti hyväksyttävänä. Näitä kuvataan faksina Fiqh-kirjallisuudessa. Näitä tunnetaan myös nimellä thaman istalahi, koska niiden hyväksyttävyys ei johdu niiden luontaisesta arvosta vaan yhteiskunnan myöntämästä asemasta tietyn ajanjakson aikana. Varhaiset islamilaiset juristit ovat käsitelleet edellä mainittuja kahta valuutan muotoa hyvin eri tavoin siltä osin kuin kyse on niiden sopimusten sallimisesta. On ratkaistava se, ovatko nykyiset ikäpaperivaluutat entisen tai jälkimmäisen luokkaan kuuluvia. Yksi näkemys on, että näitä tulisi käsitellä parin kanssa thaman haqiqin tai kullan ja hopean kanssa, koska ne toimivat pääasiallisena vaihto - ja laskentayksikkönä. Samaa päättelyä noudattaen kaikki shamanijohtavat normit ja kieltokanteet, joita sovelletaan thaman haqiqiin, olisi sovellettava myös paperiversiona. Thaman haqiqi - vaihtoehdoksi kutsutaan bai-sarfiksi, ja siksi paperin valuuttojen liiketoimia olisi säänneltävä bai-sarfin kannalta tärkeillä sharia-säännöillä. Päinvastainen näkemys väittää, että paperivaluuttoja olisi kohdeltava samalla tavoin kuin fals tai thaman istalahi, koska niiden nimellisarvo on erilainen kuin niiden sisäinen arvo. Niiden hyväksyttävyys johtuu niiden oikeudellisesta asemasta kotimaassa tai globaalissa taloudellisessa merkityksessä (esimerkiksi Yhdysvaltain dollareissa). 2.1. Vaihtoehtoisten näkemysten synteesi 2.1.1. Analoginen syyttäminen (Qiyas) Riban kieltoa varten Riban kielto perustuu perimykseen, jonka pyhä profeetta (rauha hänelle) sanoi: myy kultaa kultaa, hopeaa hopeaa, vehnäjauhoa, ohraa ohraan, suolaa suolaa varten, samassa määrin paikan päällä ja kun hyödykkeet ovat erilaisia, myydä niin kuin sopii sinulle, mutta paikan päällä. Siten riba-kielto koskee ensisijaisesti kahta jalometallia (kulta ja hopea) ja neljä muuta hyödykettä (vehnä, ohra, päivämäärät ja suola). Se pätee myös analogisesti (qiyas) kaikille lajeille, joita hallitsee sama tehokas syy (illa) tai jotka kuuluvat mihin tahansa perinteeseen mainituista kuudesta esineestä. Kuitenkin Fiqhin eri koulujen ja jopa saman koulun oppilaiden keskuudessa ei ole yleistä sopimusta riban tehokkaan syyn (illa) määrittelystä ja tunnistamisesta. Hanafisille riba: n tehokas syy (illa) on kaksi ulottuvuutta: vaihdetut artikkelit kuuluvat samaan sukuun (jins), joilla on paino (wazan) tai mitattavuus (kiliyya). Jos tietyssä vaihto-osassa on sekä tehokas syy (illa) että toisin sanoen vaihdetut vastavalinnat kuuluvat samaan sukuun (jins) ja ne ovat kaikki punnittavia tai mitattavissa, niin mitään voittoa ei sallita (valuuttakurssi on olla yhtä yhtenäinen) ja vaihdon on oltava paikalla. Kullan ja hopean tapauksessa tehokkaan syyn (illa) kaksi osaa ovat: suvun (jins) ja painoisuuden yhtenäisyys. Tämä on myös Hanbanin näkymä yhden version3 mukaan. (Erilainen versio on samanlainen kuin Shafiin ja Maliki-näkymä, kuten jäljempänä on selostettu.) Näin ollen, kun kultaa vaihdetaan kultaa tai hopeaa vaihdetaan hopeaa varten, vain spot-tapahtumat ilman minkäänlaista voittoa ovat sallittuja. On myös mahdollista, että jossakin vaihtoehdossa yksi tehokkaan syyn (illa) kahdesta elementistä on läsnä ja toinen puuttuu. Esimerkiksi jos vaihdetut artikkelit ovat punnittavia tai mitattavissa olevia, mutta ne kuuluvat eri sukuihin (jins) tai jos vaihdetut artikkelit kuuluvat samaan sukuun (jins), mutta ne eivät ole mitattavissa tai mitattavissa, vaihda sitten voitolla (eri tavalla kuin yhtenäisyys) on sallittua, mutta vaihdon on oltava paikalla. Näin ollen, kun kulta vaihdetaan hopeaa varten, korko voi olla erilainen kuin yhtenäisyys, mutta ei ole mahdollista lykätä maksua. Jos yksikään kalan tehokkaan syyn (illa) kahdesta elementistä ei ole läsnä tietyssä keskuksessa, niin yhtäkään riba-kieltoa koskevasta kieltämistä ei sovelleta. Vaihto voi tapahtua joko ilman voittoa tai ilman ja joko paikalla tai viivästyneenä. Kun otetaan huomioon tapaus, jossa vaihdetaan eri maista peräisin olevia paperivaluuttoja, riba-kielto edellyttäisi tehokasta syytä (illa). Eri maille kuuluvat valuutat ovat selvästi erillisiä yhteisöjä, jotka ovat laillisia maksuvälineitä tietyillä maantieteellisillä rajoilla, joilla on erilainen sisäinen arvo tai ostovoima. Siksi suurin osa tutkijoista voi oikeutetusti väittää, että ei ole yhtyettä (jins). Lisäksi ne eivät ole mitattavissa eikä mitattavissa. Tämä johtaa suoraan siihen johtopäätökseen, että yksikään riba: n tehokkaasta syystä (illa) ei ole tällaisessa vaihdossa. Näin ollen vaihto voi tapahtua vapaasti mistä tahansa kieltopisteestä, joka koskee valuuttakurssia ja selvitystapaa. Tämän aseman taustalla olevaa logiikkaa ei ole vaikea ymmärtää. Erilaisten maiden paperivaluuttojen luontainen arvo vaihtelee, koska niillä on eri ostovoima. Lisäksi paperin valuuttojen sisäistä arvoa tai arvoa ei voida tunnistaa tai arvioida toisin kuin kulta ja hopea, jotka voidaan punnita. Näin ollen ei voida todeta riba al-fadl: n (ylimäärän) tai riba al-nasia (viivästymisellä) läsnäoloa. Fafin Shafiin koulu pitää tehokasta syytä (illa), kun kulta ja hopea ovat niiden omaisuutta valuutasta (thamaniyya) tai vaihdon välineestä, laskentayksiköstä ja arvojen talletuksesta. Tämä on myös Maliki-näkymä. Tämän näkemyksen yhden version mukaan, vaikka paperista tai nahasta tehdään vaihtoväline, ja sillä on valuutan asema, niin kaikki naqdainia, kultaa ja hopeaa koskevat säännöt koskevat niitä. Näin ollen tämän version mukaan eri maiden valuuttojen vaihto, joka on eri kuin yhtenäisyys, on sallittua, mutta se on ratkaistava paikalla. Toinen versio edellä mainituista kahdesta koulusta on, että edellä mainittu tehokas syy (illa) on valuutta (thamaniyya) on erityinen kulta ja hopea, eikä sitä voida yleistää. Eli mikä tahansa muu kohde, jos sitä käytetään vaihdon välineenä, ei voida sisällyttää niiden luokkaan. Siksi tämän version mukaan sharia-kieltoja riba-kiellosta ei sovelleta paperivaluuttoihin. Eri maille kuuluvat valuutat voidaan vaihtaa joko ilman voittoa tai ilman ja molempia paikan päällä tai viivästyneinä. Aiemman version kannattajat mainitsevat samaan maahan kuuluvien paperivaluuttojen vaihdon tapauksen puolustamisen. Juristien konsensuslausunto tässä tapauksessa on se, että tällaisen vaihdon on oltava ilman minkäänlaista voittoa tai yhtä suurta yhtenäisyyttä, ja se on ratkaistava paikalla. Mikä on edellä mainitun päätöksen taustalla oleva perustelu Jos Hanafi ja Hanbalin ensimmäisen version versio otetaan huomioon, tässä tapauksessa vain yksi ulottuvuus tehokkaasta syystä (illa) on olemassa, eli ne kuuluvat samaan sukuun (jins ). Paperivaluutat eivät kuitenkaan ole mitattavissa eikä mitattavissa. Näin ollen Hanafin laki ilmeisesti mahdollistaa saman valuutan eri määrien vaihdon paikalla. Samoin, jos tehokas syy olla valuutta (thamaniyya) on spesifinen vain kulta ja hopea, niin myös Shafiin ja Malikin lain sallittaisiin samoin. Tarvitsematta sanoa, tämä tarkoittaa sitä, että se mahdollistaa riba-pohjaisen luotonannon ja luotonannon. Tämä osoittaa, että se on Shafiin ja Malikin ajatus, joka perustuu konsensuspäätökseen, joka koskee kiellon myöntämistä ja lykkäystä, jos samaan maahan kuuluvat valuutat vaihdetaan. Edustajien mukaan tämän logiikan ulottaminen eri maiden valuuttoihin merkitsisi sitä, että voitonvaihdoksen tai eriarvoisuuden vaihtelu on sallittua (koska jinien yhtenäisyyttä ei ole), mutta ratkaisun on oltava paikalla. 2.1.2 Valuuttakurssin ja Bai-Sarf Bai-sarfin välinen vertailu on määritelty Fiqh-kirjallisuudessa vaihtoehtona, johon liittyy thaman haqiqi, joka on määritelty kultaksi ja hopeaksi, joka oli tärkein vaihto-omaisuus melkein kaikissa suurissa liiketoimissa. Edustajat, joiden mukaan eri valuuttojen vaihto eri maissa on sama kuin bai-sarf, väittävät, että nykyisessä aikakaudella paperi valuutat ovat korvannut tehokkaasti ja kokonaan kultaa ja hopeaa vaihdon välineeksi. Niinpä analogisesti, tällaisten valuuttojen vaihtoa olisi säänneltävä samoilla sharia-säännöillä ja määräyksillä kuin bai-sarfilla. On myös väitetty, että mikäli molempien sopimuspuolten sallittu lasku on sallittua, tämä avaa riba-al nasia - mahdollisuudet. Bai-sarfin valuuttakeskuksen luokittelun vastustajat kuitenkin huomauttavat, että kaikkien valuuttojen (thaman) vaihtoa ei voida kutsua bai-sarfiksi. Tämän näkemyksen mukaan bai-sarf tarkoittaa kullan ja hopean (thaman haqiqi tai naqdain) kaltaisten valuuttojen vaihtoa yksistään eikä valtiovallan (thaman istalahi) sellaisenaan ilmaisemasta rahasta. Nykyiset ikävaluutat ovat esimerkkejä jälkimmäisestä. Nämä tutkijat ovat tukeneet sellaisia ​​kirjoituksia, jotka väittävät, että jos vaihdon hyödykkeet eivät ole kultaa tai hopeaa (vaikka yksi näistä on kulta tai hopea), niin vaihtoa ei voida kutsua bai-sarfiksi. Bai-sarfin määräyksiä ei myöskään sovellettaisi tällaisiin vaihtoihin. Imam Sarakhsi4: n mukaan, kun yksittäinen ostaa fals tai metallirahoja, kuten kuparia (thaman istalahi) dirhamille (thaman haqiqi) ja tekee spot-maksun viimeksi mainitusta, mutta myyjälle ei ole tällä hetkellä vääryyttä , tällainen vaihto on sallittua. molempien osapuolten vaihtamien hyödykkeiden hallitseminen ei ole ennakkoedellytys (kun taas bai-sarfin tapauksessa). On olemassa useita vastaavia viittauksia, jotka osoittavat, että juristit eivät luokittele falsin (thaman istalahi) vaihtoa toiselle falsille ( thaman istalahi) tai kulta tai hopea (thaman haqiqi), kuten bai-sarf. Näin ollen kahden eri valuutan vaihtoa, jotka voivat olla vain thaman istalahi, ei voida luokitella bai-sarfiksi. Tällaisiin liiketoimiin ei myöskään sovelleta suoraveloitusta koskevaa rajoitusta. Tässä on huomattava, että bai-sarfin määritelmä on Fiqh-kirjallisuus, eikä pyhissä perinteissä mainita samaa. Perinteitä mainitaan riba, ja kulta ja hopea (naqdain), joka voi olla merkittävä riba-lähde, myynti ja osto on kuvattu islamilaisten juristien bai-sarfiksi. On myös syytä huomata, että Fiqh-kirjallisuudessa bai-sarf tarkoittaa kultaa tai hopeaa vain siitä, käytetäänkö niitä tällä hetkellä vaihtajana vai ei. Vaihto, jossa on dinaaria ja kultakoristeita, sekä laatu kuin bai-sarf. Erilaiset juristit ovat pyrkineet selventämään tätä kohtaa ja määrittäneet sarfin sellaiseksi vaihtoehdoksi, jossa sekä vaihdetut hyödykkeet ovat luonteeltaan thaman, ei välttämättä thaman itse. Näin ollen, vaikka yksi hyödykkeistä jalostettaisiin kulta (esimerkiksi koriste), tällaista vaihtoa kutsutaan bai-sarfiksi. Se, että valuutanvaihtoa olisi kohdeltava samalla tavoin kuin bai-sarf, kannattavat myös empiiristen islamilaisten juristien kirjoituksia. Imam Ibn Taimiyan mukaan mikä tahansa, joka suorittaa vaihdon välineen, laskentayksikön ja arvon tallennuksen, kutsutaan thamaniksi (ei välttämättä vain kullanväriseksi hopeaksi). Samankaltaiset viitteet ovat saatavilla Imam Ghazzalin kirjoituksissa5. Mitä tulee Imam Sarakhshin näkemyksiin, jotka koskevat väärinkäytöksiä, heidän mukaansa on otettava huomioon joitain lisäpisteitä. Islamin alkuaikoina kullasta ja hopeasta tehdyt dinaarit ja dirhamit käytettiin lähinnä vaihdon välineenä kaikissa suurissa tapahtumissa. Vain vähäiset joutuivat valehtelemaan. Toisin sanoen, falsilla ei ollut rahan tai thamaniyyan ominaisuuksia kokonaan ja sitä käytettiin tuskin arvo - tai laskentayksikönä ja se oli luonteeltaan hyödykkeen luonteisempi. Tästä syystä ei ole rajoitettu ostamaan samaa kultaa ja hopeaa lykätyllä perusteella. Nykypäivän valuutoilla on kaikki thamanin ominaisuudet ja ne on tarkoitettu ainoastaan ​​thamanille. Eri maiden valuuttakurssi on sama kuin bai-sarf, jinien ero ja siten viivästynyt ratkaisu johtaisi riba al-nasiaan. Tohtori Mohamed Nejatullah Siddiqui kuvaa tätä mahdollisuutta esimerkkinä6. Hän kirjoittaa, että tietyllä hetkellä, kun dollarin ja rupean välinen vaihtokurssi on 1:20, jos yksittäinen ostaa 50: tä 1:22: ssä (velkojen maksaminen rupiaan myöhässä), niin on erittäin todennäköistä, että hän on. itse asiassa lainanotto Rs. 1000 nyt sijasta lupaus maksaa Rs. 1100 tietyssä myöhempänä päivämääränä. (Koska hän voi hankkia Rs 1000 nyt vaihtamalla 50 ostettua luottokortilla spot-korolla) Siksi sarf voidaan muuntaa korko-pohjaiseksi luotonantajaksi. 2.1.3 Thamaniyyan määrittäminen on avain Edellä esitetyistä vaihtoehtoisista näkemyksistä ilmenee, että keskeinen kysymys näyttää olevan oikea määritelmä thamaniyya. Esimerkiksi perustavaa laatua oleva kysymys, joka johtaa eri asemiin sallittavuudesta, liittyy siihen, onko thamaniyya spesifinen kulta ja hopea vai voidaanko siihen liittyä mikä tahansa, joka suorittaa rahojen tehtävät. Pohdimme joitakin kysymyksiä, jotka voidaan ottaa huomioon mahdollisissa vaihtoehtoisten kantojen uudelleenarvioinnissa. Olisi ymmärrettävä, että thamaniyya ei välttämättä ole absoluuttinen ja voi vaihdella asteittain. On totta, että paperivaluutat ovat kokonaan korvannut kullan ja hopean vaihdon välineeksi, laskentayksiköksi ja arvoarvoksi. Tässä mielessä paperin valuutoista voidaan sanoa olevan thamaniyya. Tämä pätee kuitenkin ainoastaan ​​kotimaisiin valuuttoihin, eikä se voi koskea ulkomaisia ​​valuuttoja. Toisin sanoen intialaisilla rupareilla on thamaniyya vain Intian maantieteellisillä rajoilla, eikä niillä ole hyväksyttävyyttä Yhdysvalloissa. Näistä ei voida sanoa, että niillä on thamaniyya Yhdysvalloissa, ellei yhdysvaltalainen kansalainen voi käyttää intialaisia ​​rupioita keskuksen välineenä tai laskentayksikkönä tai arvo-osuutena. Useimmissa tapauksissa tällainen mahdollisuus on etäällä. Tämä mahdollisuus riippuu myös vallitsevasta valuuttakurssimekanismista, kuten Intian rupeiden vaihdettavuudesta Yhdysvaltain dollareihin ja siitä, onko käytössä kiinteä tai vaihtuva valuuttakurssijärjestelmä. Esimerkiksi olettaen, että Intian rupeiden vapaasti vaihdettaisiin Yhdysvaltain dollareiksi ja päinvastoin ja kiinteä valuuttakurssijärjestelmä, jossa rupean ja dollarin välisen vaihtokurssin odotetaan kasvavan tai laskevan lähitulevaisuudessa, rupesin thamaniyya Yhdysvalloissa paranee huomattavasti . Tohtori Nejatullah Siddiquin mainitsema esimerkki vaikuttaa myös olosuhteilta. Oikeus vaihtaa rupiaa dollareiksi viivästetysti (toisesta päästä tietysti) eri korkoina kuin spot-korko (virallinen korko, joka todennäköisesti pysyy kiinteänä maksupäivänä) olisi selkeä tapaus, joka perustuu korkoihin lainanotto ja luotonanto. Kuitenkin, jos oletetaan kiinteän valuuttakurssin rentoutumisen ja nykyisen vaihtelevien ja vaihtelevien valuuttakurssien oletetaan tapahtuvan, voidaan osoittaa, että riba al-nasia - tapaus rikkoo. We rewrite his example: In a given moment in time when the market rate of exchange between dollar and rupee is 1:20, if an individual purchases 50 at the rate of 1:22 (settlement of his obligation in rupees deferred to a future date), then it is highly probable that he is. in fact, borrowing Rs. 1000 now in lieu of a promise to repay Rs. 1100 on a specified later date. (Since, he can obtain Rs 1000 now, exchanging the 50 purchased on credit at spot rate) This would be so, only if the currency risk is non-existent (exchange rate remains at 1:20), or is borne by the seller of dollars (buyer repays in rupees and not in dollars). If the former is true, then the seller of the dollars (lender) receives a predetermined return of ten percent when he converts Rs1100 received on the maturity date into 55 (at an exchange rate of 1:20). However, if the latter is true, then the return to the seller (or the lender) is not predetermined. It need not even be positive. For example, if the rupee-dollar exchange rate increases to 1:25, then the seller of dollar would receive only 44 (Rs 1100 converted into dollars) for his investment of 50. Here two points are worth noting. First, when one assumes a fixed exchange rate regime, the distinction between currencies of different countries gets diluted. The situation becomes similar to exchanging pounds with sterlings (currencies belonging to the same country) at a fixed rate. Second, when one assumes a volatile exchange rate system, then just as one can visualize lending through the foreign currency market (mechanism suggested in the above example), one can also visualize lending through any other organized market (such as, for commodities or stocks.) If one replaces dollars for stocks in the above example, it would read as: In a given moment in time when the market price of stock X is Rs 20, if an individual purchases 50 stocks at the rate of Rs 22 (settlement of his obligation in rupees deferred to a future date), then it is highly probable that he is. in fact, borrowing Rs. 1000 now in lieu of a promise to repay Rs. 1100 on a specified later date. (Since, he can obtain Rs 1000 now, exchanging the 50 stocks purchased on credit at current price) In this case too as in the earlier example, returns to the seller of stocks may be negative if stock price rises to Rs 25 on the settlement date. Hence, just as returns in the stock market or commodity market are Islamically acceptable because of the price risk, so are returns in the currency market because of fluctuations in the prices of currencies. A unique feature of thaman haqiqi or gold and silver is that the intrinsic worth of the currency is equal to its face value. Thus, the question of different geographical boundaries within which a given currency, such as, dinar or dirham circulates, is completely irrelevant. Gold is gold whether in country A or country B. Thus, when currency of country A made of gold is exchanged for currency of country B, also made of gold, then any deviation of the exchange rate from unity or deferment of settlement by either party cannot be permitted as it would clearly involve riba al-fadl and also riba al-nasia. However, when paper currencies of country A is exchanged for paper currency of country B, the case may be entirely different. The price risk (exchange rate risk), if positive, would eliminate any possibility of riba al-nasia in the exchange with deferred settlement. However, if price risk (exchange rate risk) is zero, then such exchange could be a source of riba al-nasia if deferred settlement is permitted7. Another point that merits serious consideration is the possibility that certain currencies may possess thamaniyya, that is, used as a medium of exchange, unit of account, or store of value globally, within the domestic as well as foreign countries. For instance, US dollar is legal tender within US it is also acceptable as a medium of exchange or unit of account for a large volume of transactions across the globe. Thus, this specific currency may be said to possesses thamaniyya globally, in which case, jurists may impose the relevant injunctions on exchanges involving this specific currency to prevent riba al-nasia. The fact is that when a currency possesses thamaniyya globally, then economic units using this global currency as the medium of exchange, unit of account or store of value may not be concerned about risk arising from volatility of inter-country exchange rates. At the same time, it should be recognized that a large majority of currencies do not perform the functions of money except within their national boundaries where these are legal tender. Riba and risk cannot coexist in the same contract. The former connotes a possibility of returns with zero risk and cannot be earned through a market with positive price risk. As has been discussed above, the possibility of riba al-fadl or riba al-nasia may arise in exchange when gold or silver function as thaman or when the exchange involves paper currencies belonging to the same country or when the exchange involves currencies of different countries following a fixed exchange rate system. The last possibility is perhaps unIslamic8 since price or exchange rate of currencies should be allowed to fluctuate freely in line with changes in demand and supply and also because prices should reflect the intrinsic worth or purchasing power of currencies. The foreign currency markets of today are characterised by volatile exchange rates. The gains or losses made on any transaction in currencies of different countries, are justified by the risk borne by the parties to the contract. 2.1.4. Possibility of Riba with Futures and Forwards So far, we have discussed views on the permissibility of bai salam in currencies, that is, when the obligation of only one of the parties to the exchange is deferred. What are the views of scholars on deferment of obligations of both parties. Typical example of such contracts are forwards and futures9. According to a large majority of scholars, this is not permissible on various grounds, the most important being the element of risk and uncertainty (gharar) and the possibility of speculation of a kind which is not permissible. This is discussed in section 3. However, another ground for rejecting such contracts may be riba prohibition. In the preceding paragraph we have discussed that bai salam in currencies with fluctuating exchange rates can not be used to earn riba because of the presence of currency risk. It is possible to demonstrate that currency risk can be hedged or reduced to zero with another forward contract transacted simultaneously. And once risk is eliminated, the gain clearly would be riba. We modify and rewrite the same example: In a given moment in time when the market rate of exchange between dollar and rupee is 1:20, an individual purchases 50 at the rate of 1:22 (settlement of his obligation in rupees deferred to a future date), and the seller of dollars also hedges his position by entering into a forward contract to sell Rs1100 to be received on the future date at a rate of 1:20, then it is highly probable that he is. in fact, borrowing Rs. 1000 now in lieu of a promise to repay Rs. 1100 on a specified later date. (Since, he can obtain Rs 1000 now, exchanging the 50 dollars purchased on credit at spot rate) The seller of the dollars (lender) receives a predetermined return of ten percent when he converts Rs1100 received on the maturity date into 55 dollars (at an exchange rate of 1:20) for his investment of 50 dollars irrespective of the market rate of exchange prevailing on the date of maturity. Another simple possible way to earn riba may even involve a spot transaction and a simultaneous forward transaction. For example, the individual in the above example purchases 50 on a spot basis at the rate of 1:20 and simultaneously enters into a forward contract with the same party to sell 50 at the rate of 1:21 after one month. In effect this implies that he is lending Rs1000 now to the seller of dollars for one month and earns an interest of Rs50 (he receives Rs1050 after one month. This is a typical buy-back or repo (repurchase) transaction so common in conventional banking.10 3. The Issue of Freedom from Gharar 3.1 Defining Gharar Gharar, unlike riba, does not have a consensus definition. In broad terms, it connotes risk and uncertainty. It is useful to view gharar as a continuum of risk and uncertainty wherein the extreme point of zero risk is the only point that is well-defined. Beyond this point, gharar becomes a variable and the gharar involved in a real life contract would lie somewhere on this continuum. Beyond a point on this continuum, risk and uncertainty or gharar becomes unacceptable11. Jurists have attempted to identify such situations involving forbidden gharar. A major factor that contributes to gharar is inadequate information (jahl) which increases uncertainty. This is when the terms of exc hange, such as, price, objects of exchange, time of settlement etc. are not well-defined. Gharar is also defined in terms of settlement risk or the uncertainty surrounding delivery of the exchanged articles. Islamic scholars have identified the conditions which make a contract uncertain to the extent that it is forbidden. Each party to the contract must be clear as to the quantity, specification, price, time, and place of delivery of the contract. A contract, say, to sell fish in the river involves uncertainty about the subject of exchange, about its delivery, and hence, not Islamically permissible. The need to eliminate any element of uncertainty inherent in a contract is underscored by a number of traditions.12 An outcome of excessive gharar or uncertainty is that it leads to the possibility of speculation of a variety which is forbidden. Speculation in its worst form, is gambling. The holy Quran and the traditions of the holy prophet explicitly prohibit gains made from games of chance which involve unearned income. The term used for gambling is maisir which literally means getting something too easily, getting a profit without working for it. Apart from pure games of chance, the holy prophet also forbade actions which generated unearned incomes without much productive efforts.13 Here it may be noted that the term speculation has different connotations. It always involves an attempt to predict the future outcome of an event. But the process may or may not be backed by collection, analysis and interpretation of relevant information. The former case is very much in conformity with Islamic rationality. An Islamic economic unit is required to assume risk after making a proper assessment of risk with the help of information. All business decisions involve speculation in this sense. It is only in the absence of information or under conditions of excessive gharar or uncertainty that speculation is akin to a game of chance and is reprehensible. 3.2 Gharar amp Speculation with of Futures amp Forwards Considering the case of the basic exchange contracts highlighted in section 1, it may be noted that the third type of contract where settlement by both the parties is deferred to a future date is forbidden, according to a large majority of jurists on grounds of excessive gharar. Futures and forwards in currencies are examples of such contracts under which two parties become obliged to exchange currencies of two different countries at a known rate at the end of a known time period. For example, individuals A and B commit to exchange US dollars and Indian rupees at the rate of 1: 22 after one month. If the amount involved is 50 and A is the buyer of dollars then, the obligations of A and B are to make a payments of Rs1100 and 50 respectively at the end of one month. The contract is settled when both the parties honour their obligations on the future date. Traditionally, an overwhelming majority of Sharia scholars have disapproved such contracts on several grounds. The prohibition applies to all such contracts where the obligations of both parties are deferred to a future date, including contracts involving exchange of currencies. An important objection is that such a contract involves sale of a non-existent object or of an object not in the possession of the seller. This objection is based on several traditions of the holy prophet.14 There is difference of opinion on whether the prohibition in the said traditions apply to foodstuffs, or perishable commodities or to all objects of sale. There is, however, a general agreement on the view that the efficient cause (illa) of the prohibition of sale of an object which the seller does not own or of sale prior to taking possession is gharar, or the possible failure to deliver the goods purchased. Is this efficient cause (illa) present in an exchange involving future contracts in currencies of different countries. In a market with full and free convertibility or no constraints on the supply of currencies, the probability of failure to deliver the same on the maturity date should be no cause for concern. Further, the standardized nature of futures contracts and transparent operating procedures on the organized futures markets15 is believed to minimize this probability. Some recent scholars have opined in the light of the above that futures, in general, should be permissible. According to them, the efficient cause (illa), that is, the probability of failure to deliver was quite relevant in a simple, primitive and unorganized market. It is no longer relevant in the organized futures markets of today16. Such contention, however, continues to be rejected by the majority of scholars. They underscore the fact that futures contracts almost never involve delivery by both parties. On the contrary, parties to the contract reverse the transaction and the contract is settled in price difference only. For example, in the above example, if the currency exchange rate changes to 1: 23 on the maturity date, the reverse transaction for individual A would mean selling 50 at the rate of 1:23 to individual B. This would imply A making a gain of Rs50 (the difference between Rs1150 and Rs1100). This is exactly what B would lose. It may so happen that the exchange rate would change to 1:21 in which case A would lose Rs50 which is what B would gain. This obviously is a zero-sum game in which the gain of one party is exactly equal to the loss of the other. This possibility of gains or losses (which theoretically can touch infinity) encourages economic units to speculate on the future direction of exchange rates. Since exchange rates fluctuate randomly, gains and losses are random too and the game is reduced to a game of chance. There is a vast body of literature on the forecastability of exchange rates and a large majority of empirical studies have provided supporting evidence on the futility of any attempt to make short-run predictions. Exchange rates are volatile and remain unpredictable at least for the large majority of market participants. Needless to say, any attempt to speculate in the hope of the theoretically infinite gains is, in all likelihood, a game of chance for such participants. While the gains, if they materialize, are in the nature of maisir or unearned gains, the possibility of equally massive losses do indicate a possibility of default by the loser and hence, gharar. 3.3. Risk Management in Volatile Markets Hedging or risk reduction adds to planning and managerial efficiency. The economic justification of futures and forwards is in term of their role as a device for hedging. In the context of currency markets which are characterized by volatile rates, such contracts are believed to enable the parties to transfer and eliminate risk arising out of such fluctuations. For example, modifying the earlier example, assume that individual A is an exporter from India to US who has already sold some commodities to B, the US importer and anticipates a cashflow of 50 (which at the current market rate of 1:22 mean Rs 1100 to him) after one month. There is a possibility that US dollar may depreciate against Indian rupee during these one month, in which case A would realize less amount of rupees for his 50 ( if the new rate is 1:21, A would realize only Rs1050 ). Hence, A may enter into a forward or future contract to sell 50 at the rate of 1:21.5 at the end of one month (and thereby, realize Rs1075) with any counterparty which, in all probability, would have diametrically opposite expectations regarding future direction of exchange rates. In this case, A is able to hedge his position and at the same time, forgoes the opportunity of making a gain if his expectations do not materialize and US dollar appreciates against Indian rupee (say, to 1:23 which implies that he would have realized Rs1150, and not Rs1075 which he would realize now.) While hedging tools always improve planning and hence, performance, it should be noted that the intention of the contracting party - whether to hedge or to speculate, can never be ascertained. It may be noted that hedging can also be accomplished with bai salam in currencies. As in the above example, exporter A anticipating a cash inflow of 50 after one month and expecting a depreciation of dollar may go for a salam sale of 50 (with his obligation to pay 50 deferred by one month.) Since he is expecting a dollar depreciation, he may agree to sell 50 at the rate of 1: 21.5. There would be an immediate cash inflow in Rs 1075 for him. The question may be, why should the counterparty pay him rupees now in lieu of a promise to be repaid in dollars after one month. As in the case of futures, the counterparty would do so for profit, if its expectations are diametrically opposite, that is, it expects dollar to appreciate. For example, if dollar appreciates to 1: 23 during the one month period, then it would receive Rs1150 for Rs 1075 it invested in the purchase of 50. Thus, while A is able to hedge its position, the counterparty is able to earn a profit on trading of currencies. The difference from the earlier scenario is that the counterparty would be more restrained in trading because of the investment required, and such trading is unlikely to take the shape of rampant speculation. 4. Summary amp Conclusion Currency markets of today are characterized by volatile exchange rates. This fact should be taken note of in any analysis of the three basic types of contracts in which the basis of distinction is the possibility of deferment of obligations to future. We have attempted an assessment of these forms of contracting in terms of the overwhelming need to eliminate any possibility of riba, minimize gharar, jahl and the possibility of speculation of a kind akin to games of chance. In a volatile market, the participants are exposed to currency risk and Islamic rationality requires that such risk should be minimized in the interest of efficiency if not reduced to zero. It is obvious that spot settlement of the obligations of both parties would completely prohibit riba, and gharar, and minimize the possibility of speculation. However, this would also imply the absence of any technique of risk management and may involve some practical problems for the participants. At the other extreme, if the obligations of both the parties are deferred to a future date, then such contracting, in all likelihood, would open up the possibility of infinite unearned gains and losses from what may be rightly termed for the majority of participants as games of chance. Of course, these would also enable the participants to manage risk through complete risk transfer to others and reduce risk to zero. It is this possibility of risk reduction to zero which may enable a participant to earn riba. Future is not a new form of contract. Rather the justification for proscribing it is new. If in a simple primitive economy, it was prevention of gharar relating to delivery of the exchanged article, in todays complex financial system and organized exchanges, it is prevention of speculation of kind which is unIslamic and which is possible under excessive gharar involved in forecasting highly volatile exchange rates. Such speculation is not just a possibility, but a reality. The precise motive of an economic unit entering into a future contract - speculation or hedging may not ascertainable ( regulators may monitor end use, but such regulation may not be very practical, nor effective in a free market). Empirical evidence at a macro level, however, indicates the former to be the dominant motive. The second type of contracting with deferment of obligations of one of the parties to a future date falls between the two extremes. While Sharia scholars have divergent views about its permissibility, our analysis reveals that there is no possibility of earning riba with this kind of contracting. The requirement of spot settlement of obligations of atleast one party imposes a natural curb on speculation, though the room for speculation is greater than under the first form of contracting. The requirement amounts to imposition of a hundred percent margin which, in all probability, would drive away the uninformed speculator from the market. This should force the speculator to be a little more sure of his expectations by being more informed. When speculation is based on information it is not only permissible, but desirable too. Bai salam would also enable the participants to manage risk. At the same time, the requirement of settlement from one end would dampen the tendency of many participants to seek a complete transfer of perceived risk and encourage them to make a realistic assessment of the actual risk. Notes amp References 1. These diverse views are reflected in the papers presented at the Fourth Fiqh Seminar organized by the Islamic Fiqh Academy, India in 1991 which were subsequently published in Majalla Fiqh Islami, part 4 by the Academy. The discussion on riba prohibition draws on these views. 2. Nabil Saleh, Unlawful gain and Legitimate Profit in Islamic Law, Graham and Trotman, London, 1992, p.16 3. Ibn Qudama, al-Mughni, vol.4, pp.5-9 4. Shams al Din al Sarakhsi, al-Mabsut, vol 14, pp 24-25 5. Paper presented by Abdul Azim Islahi at the Fourth Fiqh Seminar organized by Islamic Fiqh Academy, India in 1991. 6. Paper by Dr M N Siddiqui highlighting the issue was circulated among all leading Fiqh scholars by the Islamic Fiqh Academy, India for their views and was the main theme of deliberations during the session on Currency Exchange at the Fourth Fiqh Seminar held in 1991. 7. It is contended by some that the above example may be modified to show the possibility of riba with spot settlement too. In a given moment in time when the market rate of exchange between dollar and rupee is 1:20, if an individual purchases 50 at the rate of 1:22 (settlement of his obligation also on a spot basis), then it amounts to the seller of dollars exchanging 50 with 55 on a spot basis (Since, he can obtain Rs 1100 now, exchange them for 55 at spot rate of 1:20) Thus, spot settlement can also be a clear source of riba. Does this imply that spot settlement should be proscribed too. The fallacy in the above and earlier examples is that there is no single contract but multiple contracts of exchange occurring at different points in time (true even in the above case). Riba can be earned only when the spot rate of 1:20 is fixed during the time interval between the transactions. This assumption is, needless to say, unrealistic and if imposed artificially, perhaps unIslamic. 8. Islam envisages a free market where prices are determined by forces of demand and supply. There should be no interference in the price formation process even by the regulators. While price control and fixation is generally accepted as unIslamic, some scholars, such as, Ibn Taimiya do admit of its permissibility. However, such permissibility is subject to the condition that price fixation is intended to combat cases of market anomalies caused by impairing the conditions of free competition. If market conditions are normal, forces of demand and supply should be allowed a free play in determination of prices. 9. Some Islamic scholars use the term forward to connote a salam sale. However, we use this term in the conventional sense where the obligations of both parties are deferred to a future date and hence, are similar to futures in this sense. The latter however, are standardized contracts and are traded on an organized Futures Exchange while the former are specific to the requirements of the buyer and seller. 10. This is known as bai al inah which is considered forbidden by almost all scholars with the exception of Imam Shafii. Followers of the same school, such as Al Nawawi do not consider it Islamically permissible. 11. It should be noted that modern finance theories also distinguish between conditions of risk and uncertainty and assert that rational decision making is possible only under conditions of risk and not under conditions of uncertainty. Conditions of risk refer to a situation where it is possible with the help of available data to estimate all possible outcomes and their corresponding probabilities, or develop the ex-ante probability distribution. Under conditions of uncertainty, no such exercise is possible. The definition of gharar, Real-life situations, of course, fall somewhere in the continuum of risk and uncertainty. 12. The following traditions underscore the need to avoid contracts involving uncertainty. Ibn Abbas reported that when Allahs prophet (pbuh) came to Medina, they were paying one and two years advance for fruits, so he said: Those who pay in advance for any thing must do so for a specified weight and for a definite time. It is reported on the authority of Ibn Umar that the Messenger of Allah (pbuh) forbade the transaction called habal al-habala whereby a man bought a she-camel which was to be the off-spring of a she-camel and which was still in its mothers womb. 13. According to a tradition reported by Abu Huraira, Allahs Messenger (pbuh) forbade a transaction determined by throwing stones, and the type which involves some uncertainty. The form of gambling most popular to Arabs was gambling by casting lots by means of arrows, on the principle of lottery, for division of carcass of slaughtered animals. The carcass was divided into unequal parts and marked arrows were drawn from a bag. One received a large or small share depending on the mark on the arrow drawn. Obviously it was a pure game of chance. 14. The holy prophet is reported to have said Do not sell what is not with you Ibn Abbas reported that the prophet said: He who buys foodstuff should not sell it until he has taken possession of it. Ibn Abbas said: I think it applies to all other things as well. 15. The Futures Exchange performs an important function of providing a guarantee for delivery by all parties to the contract. It serves as the counterparty in the exchange for both, that is, as the buyer for the sale and as the seller for the purchase. 16. M Hashim Kamali Islamic Commercial Law: An Analysis of Futures, The American Journal of Islamic Social Sciences, vol.13, no.2, 1996 Send Your Comments to: Dr Mohammed Obaidullah, Xavier Institute of Management, Bhubaneswar 751 013, IndiaDulu awalnya sebelum tahu hal ini emang sempat bingung juga apakah emang halal atau tidak. Tapi setelah baca daribeberapa sumber seperti forum forex dan blog sperti ini memang cukup membantu jadi membuat saya tau apakah trading di forex itu halal atau tidak. Untuk trading pun juga saya sendiri menggunakan akun free swap dari OctaFx. Katanya yang bikin haram itu karena swap ini juga. Dan saya sendiri juga nggak tau swap ini dihitung dari mana, berdasarkan apa. Mudah-mudah sukses dalam bertrading dan semakin yakin dan paham tentang forex. dengan berbagai kondisi trading yang ditawarkan OctaFX terutama pada akun Micro yang saya gunakan memang terdapat fasilitas free swap, hal ini semakin membuat saya lega dan leluasa dalam menjalankan kegiatan trading yang saya lakukan. OctaFX benar-benar memberikan pelayanan dan fasilitas yang memberikan kenyamanan dan keleluasaan dalam trading terutama bagi muslim yang harus mengikuti aturan-aturan yang dibenarkan dalam hal fiqih muamalah. Fatwa MUI Tentang Jual Beli Mata Uang (AL-SHARF) Pertanyaan yang pasti ditanyakan oleh setiap trader di Indonesia. 1. Apakah Trading Forex Haram 2. Apakah Trading Forex Halal 3. Apakah Trading Forex diperbolehkan dalam Agama Islam 4. Apakah SWAP itu Mari kita bahas dengan artikel yang pertama. Forex Dalam Hukum Islam Dalam bukunya Prof. Drs. Masjfuk Zuhdi yang berjudul MASAIL FIQHIYAH Kapita Selecta Hukum Islam, diperoleh bahwa Forex (Perdagangan Valas) diperbolehkan dalam hukum islam. Perdagangan valuta asing timbul karena adanya perdagangan barang-barang kebutuhankomoditi antar negara yang bersifat internasional. Perdagangan (Ekspor-Impor) ini tentu memerlukan alat bayar yaitu UANG yang masing-masing negara mempunyai ketentuan sendiri dan berbeda satu sama lainnya sesuai dengan penawaran dan permintaan diantara negara-negara tersebut sehingga timbul PERBANDINGAN NILAI MATA UANG antar negara. Perbandingan nilai mata uang antar negara terkumpul dalam suatu BURSA atau PASAR yang bersifat internasional dan terikat dalam suatu kesepakatan bersama yang saling menguntungkan. Nilai mata uang suatu negara dengan negara lainnya ini berubah (berfluktuasi) setiap saat sesuai volume permintaan dan penawarannya. Adanya permintaan dan penawaran inilah yang menimbulkan transaksi mata uang. Yang secara nyata hanyalah tukar-menukar mata uang yang berbeda nilai. HUKUM ISLAM dalam TRANSAKSI VALAS 1. Ada Ijab-Qobul. ---gt Ada perjanjian untuk memberi dan menerima Penjual menyerahkan barang dan pembeli membayar tunai. Ijab-Qobulnya dilakukan dengan lisan, tulisan dan utusan. Pe mbeli dan penjual mempunyai wewenang penuh melaksanakan dan melakukan tindakantindakan hukum (dewasa dan berpikiran sehat) 2. Memenuhi syarat menjadi objek transaksi jual-beli yaitu: Suci barangnya (bukan najis) Dapat dimanfaatkan Dapat diserahterima kan Jelas barang dan harganya Dijual (dibeli) oleh pemiliknya sendiri atau kuasanya atas izin pemiliknya Barang sudah berada ditangannya jika barangnya diperoleh dengan imbalan. Perlu ditambahkan pendapat Muhammad Isa, bahwa jual beli saham itu diperbolehkan dalam agama. Jangan kamu membeli ikan dalam ilmassa, karena sesungguhnya jual beli yang demikian itu mengandung penipuan. ( Hadis Ahmad bin Hambal dan Al Baihaqi dari Ibnu Masud) Jual beli barang yang tidak di tempat transaksi diperbolehkan dengan syarat harus diterangkan sifatsifatnya atau ciri-cirinya. Kemudian jika barang sesuai dengan keterangan penjual, maka sahlah jual belinya. Tetapi jika tidak sesuai maka pembeli mempunyai hak khiyar, artinya boleh meneruskan atau membatalkan jual belinya. Hal ini sesuai dengan hadis Nabi riwayat Al Daraquthni dari Abu Hurairah: Barang siapa yang membeli sesuatu yang ia tidak melihatnya, maka ia berhak khiyar jika ia telah melihatnya. Jual beli hasil tanam yang masih terpendam, seperti ketela, kentang, bawang dan sebagainya juga diperbolehkan, asal diberi contohnya, karena akan mengalami kesulitan atau kerugian jika harus mengeluarkan semua hasil tanaman yang terpendam untuk dijual. Hal ini sesuai dengan kaidah hukum Islam: Kesulitan itu menarik kemudahan. Demikian juga jual beli barang-barang yang telah terbungkustertutup, seperti makanan kalengan, LPG, dan sebagainya, asalkam diberi label yang menerangkan isinya. Vide Sabiq, op. cit. hal. 135. Mengenai teks kaidah hukum Islam tersebut di atas, vide Al Suyuthi, Al Ashbah wa al Nadzair, Mesir, Mustafa Muhammad, 1936 hal. 55. JUAL BELI VALUTA ASING DAN SAHAM Yang dimaksud dengan valuta asing adalah mata uang luar negeri seperi dolar Amerika, poundsterling Inggris, ringgit Malaysia dan sebagainya. Apabila antara negara terjadi perdagangan internasional maka tiap negara membutuhkan valuta asing untuk alat bayar luar negeri yang dalam dunia perdagangan disebut devisa. Misalnya eksportir Indonesia akan memperoleh devisa dari hasil ekspornya, sebaliknya importir Indonesia memerlukan devisa untuk mengimpor dari luar negeri. Dengan demikian akan timbul penawaran dan perminataan di bursa valuta asing. setiap negara berwenang penuh menetapkan kurs uangnya masing-masing (kurs adalah perbandingan nilai uangnya terhadap mata uang asing) misalnya 1 dolar Amerika Rp. 12.000. Namun kurs uang atau perbandingan nilai tukar setiap saat bisa berubah-ubah, tergantung pada kekuatan ekonomi negara masing-masing. Pencatatan kurs uang dan transaksi jual beli valuta asing diselenggarakan di Bursa Valuta Asing (A. W. J. Tupanno, et. al. Ekonomi dan Koperasi, Jakarta, Depdikbud 1982, hal 76-77) FATWA MUI TENTANG PERDAGANGAN VALAS Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia No: 28DSN-MUIIII2002 tentang Jual Beli Mata Uang (Al-Sharf) a. Bahwa dalam sejumlah kegiatan untuk memenuhi berbagai keperluan, seringkali diperlukan transaksi jual-beli mata uang (al-sharf), baik antar mata uang sejenis maupun antar mata uang berlainan jenis. b. Bahwa dalam urf tijari (tradisi perdagangan) transaksi jual beli mata uang dikenal beberapa bentuk transaksi yang status hukumnya dalam pandangan ajaran Islam berbeda antara satu bentuk dengan bentuk lain. C. Bahwa agar kegiatan transaksi tersebut dilakukan sesuai dengan ajaran Islam, DSN memandang perlu menetapkan fatwa tentang al-Sharf untuk dijadikan pedoman. 1. Firman Allah, QS. Al-Baqarah2:275: . Dan Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. 2. Hadis nabi riwayat al-Baihaqi dan Ibnu Majah dari Abu Said al-Khudri:Rasulullah SAW bersabda, Sesungguhnya jual beli itu hanya boleh dilakukan atas dasar kerelaan (antara kedua belah pihak) (HR. albaihaqi dan Ibnu Majah, dan dinilai shahih oleh Ibnu Hibban). 3. Hadis Nabi Riwayat Muslim, Abu Daud, Tirmidzi, Nasai, dan Ibn Majah, dengan teks Muslim dari Ubadah bin Shamit, Nabi s. a.w bersabda: (Juallah) emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, syair dengan syair, kurma dengan kurma, dan garam dengan garam (denga syarat harus) sama dan sejenis serta secara tunai. Jika jenisnya berbeda, juallah sekehendakmu jika dilakukan secara tunai.. 4. Hadis Nabi riwayat Muslim, Tirmidzi, Nasai, Abu Daud, Ibnu Majah, dan Ahmad, dari Umar bin Khattab, Nabi s. a.w bersabda: (Jual-beli) emas dengan perak adalah riba kecuali (dilakukan) secara tunai. 5. Hadis Nabi riwayat Muslim dari Abu Said al-Khudri, Nabi s. a.w bersabda: Janganlah kamu menjual emas dengan emas kecuali sama (nilainya) dan janganlah menambahkan sebagian atas sebagian yang lain janganlah menjual perak dengan perak kecuali sama (nilainya) dan janganlah menambahkan sebagaian atas sebagian yang lain dan janganlah menjual emas dan perak tersebut yang tidak tunai dengan yang tunai. 6. Hadis Nabi riwayat Muslim dari Bara bin Azib dan Zaid bin Arqam. Rasulullah saw melarang menjual perak dengan emas secara piutang (tidak tunai). 7. Hadis Nabi riwayat Tirmidzi dari Amr bin Auf: Perjanjian dapat dilakukan di antara kaum muslimin, kecuali perjanjian yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram dan kaum muslimin terikat dengan syarat-syarat mereka kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram. 8. Ijma. Ulama sepakat (ijma) bahwa akad al-sharf disyariatkan dengan syarat-syarat tertentu 1. Surat dari pimpinah Unit Usaha Syariah Bank BNI no. UUS2878 2. Pendapat peserta Rapat Pleno Dewan Syariah Nasional pada Hari Kamis, tanggal 14 Muharram 1423H 28 Maret 2002. Dewan Syariah Nasional Menetapkan. FATWA TENTANG JUAL BELI MATA UANG (AL-SHARF). Pertama. Ketentuan Umum Transaksi jual beli mata uang pada prinsipnya boleh dengan ketentuan sebagai berikut: 1. Tidak untuk spekulasi (untung-untungan). 2. Ada kebutuhan transaksi atau untuk berjaga-jaga (simpanan). 3. Apabila transaksi dilakukan terhadap mata uang sejenis maka nilainya harus sama dan secara tunai (at-taqabudh). 4. Apabila berlainan jenis maka harus dilakukan dengan nilai tukar (kurs) yang berlaku pada saat transaksi dan secara tunai. Kedua. Jenis-jenis transaksi Valuta Asing 1. Transaksi SPOT, yaitu transaksi pembelian dan penjualan valuta asing untuk penyerahan pada saat itu (over the counter) atau penyelesaiannya paling lambat dalam jangka waktu dua hari. Hukumnya adalah boleh, karena dianggap tunai, sedangkan waktu dua hari dianggap sebagai proses penyelesaian yang tidak bisa dihindari dan merupakan transaksi internasional. 2. Transaksi FORWARD, yaitu transaksi pembelian dan penjualan valas yang nilainya ditetapkan pada saat sekarang dan diberlakukan untuk waktu yang akan datang, antara 2x24 jam sampai dengan satu tahun. Hukumnya adalah haram, karena harga yang digunakan adalah harga yang diperjanjikan (muwaadah) dan penyerahannya dilakukan di kemudian hari, padahal harga pada waktu penyerahan tersebut belum tentu sama dengan nilai yang disepakati, kecuali dilakukan dalam bentuk forward agreement untuk kebutuhan yang tidak dapat dihindari (lil hajah) 3. Transaksi SWAP yaitu suatu kontrak pembelian atau penjualan valas dengan harga spot yang dikombinasikan dengan pembelian antara penjualan valas yang sama dengan harga forward. Hukumnya haram, karena mengandung unsur maisir (spekulasi). 4. Transaksi OPTION yaitu kontrak untuk memperoleh hak dalam rangka membeli atau hak untuk menjual yang tidak harus dilakukan atas sejumlah unit valuta asing pada harga dan jangka waktu atau tanggal akhir tertentu. Hukumnya haram, karena mengandung unsur maisir (spekulasi). Ketiga. Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan, dengan ketentuan jika di kemudian hari ternyata terdapat kekeliruan, akan diubah dan disempurnakan sebagaimana mestinya. Ditetapkan di. Jakarta Tanggal. 14 Muharram 1423 H 28 Maret 2002 M DEWAN SYARIAH NASIONAL - MAJELIS ULAMA INDONESIAbeBisnis lah - Sekilas tentang Majelis Ulama Indonesia alias MUI(kependekannya) adalah wadah atau majelis para ulama, zuama dan cendikiawan muslim Indonesia untuk menyatukan gerak dan langkah umat Islam Indonesia dalam mewujudkan cita-cita bersama. Berdiri pada tanggal 7 rajab 1395 H, yang bertepatan dengan tanggal 26 juli 1975 M di jakarta. MUI ini bisa dibilang sebagai pewaris tugas-tugas para Nabi(Warasatul Anbiya) dan memegang peranan penting bagi pemerintah Indonesia, yang selalu berusaha memberikan bimbingan dan tuntunan kepada umat Islam Indonesia dalam mewujudkan kehidupan beragama dan bermasyarakat yang diridhoi Allah SWT, memberikan nasihat dan fatwa mengenai masalah beragama dan kemasyarakatan kepada Pemerintah dan masyarakat Indonesia. Fatwa MUI tentang Trading Forex atau Fatwa MUI tentang Perdagangan Valas Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia No: 28DSN-MUI. III2002 tentang Jual Beli Mata Uang (Al-Sharf) a. Bahwa dalam sejumlah kegiatan untuk memenuhi berbagai keperluan, seringkali diperlukan jual beli mata uang(al-sharf), baik antar mata uang sejenis maupun berlainan jenis. b. Bahwa dalam urf tijari(tradisi perdagangan) transaksi jual beli mata uang dikenal beberapa bentuk transaksi yang status hukumnya dalam pandangan ajaran islam berbeda antar satu bentuk dengan bentuk lainnya. C. Bahwa agar kegiatan transaksi tersebut dilakukan sesuai dengan ajaran islam, DSN memandang perlu menetapkan fatwa tentang al-Sharf untuk dijadikan pedoman. 1. Firman Allah QS. Al-Baqarah2: 275: . Dan Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. . 2. Hadits Nabi riwayat al-Baihaqi dan Ibnu Majah dari Abu Said al-Khudri, Rasulullah SAW bersabda: Sesungguhnya jual beli itu hanya boleh dilakukan atas dasar kerelaan(antara kedua belah pihak). (HR. al-Baihaqi dan Ibnu Majah dan dinilai shahih oleh Ibnu Hibban). 3. Hadits Nabi riwayat Muslim, Tarmidzi, Nasai, Abu Daud, Ibnu Majah, dengan teks Muslim dari Ubadah bin Shamit, Nabi s. a.w bersabda: Jual lah emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, syair dengan syair, kurma dengan kurma dan garam dengan garam dengan syarat harus sama dan sejenis serta secara tunai. Jika jenisnya berbeda, jual lah sekehendakmu jika dilakukan dengan tunai. 4. Hadits Nabi riwayat Muslim, Tarmidzi, Nasai, Abu Daud, Ibnu Majah dan Ahmad, dari Umar bin Khattab, Nabi s. a.w bersabda: Jual beli emas dengan perak adalah riba kecuali dilakukan secara tunai. 5. Hadits Nabi riwayat Muslim dari Abu Said al-Khudri, Nabi s. a.w bersabda: Janganlah kamu menjual emas emas kecuali sama(nilainya) dan janganlah menambah sebagian atas sebagian yang lain janganlah menjual perak dengan perak kecuali sama (nilainya) dan janganlah sebagian atas sebagian yang lain dan janganlah menjual emas dan perak tersebut yang tidak tunai dengan tunai. 6. Hadits Nabi riwayat Muslim dari Bara bin Azib dan Zaid bin Arqam: Rasulullah saw melarang menjual perak dengan emas secara piutang(tidak tunai). 7. Hadits Nabi riwayat Tarmidzi dari Amr bin Auf: Perjanjian dapat dilakukan dengan diantara kaum muslimin, kecuali perjanjian yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram dan kaum muslimin terikat dengan syarat-syarat mereka kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram. 8. Ijma, Ulama sepakat(ijma) bahwa akad al-sharf disyariatkan dengan syarat-syarat tertentu. 1. Surat dari pimpinan Unit Usaha Syariah Bank BNI no. USS2878 2. Pendapat peserta rapat pleno Dewan Syariah Nasional pada hari kamis, tanggal 14 Muharram 1423 H 24 Maret 2002 Dewan Syariah Nasional menetapkan: Fatwa Tentang Jual Beli Mata Uang (Al-Sharf) Pertama: Ketentuan Umum Transaksi jual beli mata uang pada prinsipnya boleh dengan ketentuan sebagi berikut: 1. Tidak untuk spekulasi(untung-untungan) 2. Ada kebutuhan transaksi atau untuk berjaga-jaga(simpanan) 3. Apabila transaksi dilakukan terhadap mata uang sejenis maka nilainya harus sama dan secara tunai(at-taqabudh) 4. Apabila berlainan jenis maka harus dilakukan dengan nilai tukar(kurs) yang berlaku pada saat transaksi dan secara tunai Kedua: Jenis-jenis transaksi Valuta Asing 1. Transaksi SPOT yaitu transaksi pembelian dan penjualan valuta asing untuk penyerahan pada saat itu(over the counter) atau penyelesaiannya paling lambat dala jangka waktu dua hari. Hukumnya adalah boleh karena dianggap tunai, sedangkan waktu dua hari dianggap sebagi proses penyelesaian yang tidak bisa dihindari dan merupakan transaksi internasional 2. Transaksi FOWARD yaitu transaksi pembelian dan penjualan yang nilainya ditetapkan pada saat sekarang dan diberlakukan untuk waktu yang akan datang, antara 2 x 24 jam sampai satu tahun. Hukumnya adalah haram, karena harga yang digunakan adalah harga yang diperjanjikan(muwaadah) dan penyerahan nya dilakukan di kemudian hari, padahal harga pada waktu penyerahan tersebut belum tentu sama dengan nilai yang disepakati, kecuali dilakukan dalam bentuk foward agreement untuk kebutuhan yang tidak dapat dihindari(lil hajah) 3. Transaksi SWAP yaitu suatu kontrak pembelian atau penjualan valas dengan harga spot yang dikombinasikan dengan pembelian antara penjual valas yang sama dengan harga foward. Hukumnya haram karena mengandung unsur maisir(spekulasi) 4. Transaksi OPTION yaitu kontrak untuk memperoleh hak dalam rangka membeli atau hak untuk menjual yang tidak harus dilakukan atas sejumlah unit valuta asing pada harga dan jangka waktu atau tanggal tertentu. Hukumnya haram karena mengandung unsur maisir(spekulasi) Ketiga: Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan, dengan ketentuan jika di kemudian hari ternyata terdapat kekeliuran, akan diubah dan disempurnakan sebagaimana mestinya. Ditetapkan di: Jakarata Tanggal: 14 Muharram 1423 H 28 Maret 2002 M Dewan Syariah Nasional - Majelis Ulama Indonesia Oke, itulah bunyi dan lengkapnya Fatwa MUI tentang Trading Forex. semoga dapat diambil pelajaran, bisa dijadikan acuan, semua keraguan menghilang dan happy trading. Terimakasih, salam profit dan salam sukses buat semuanya.

No comments:

Post a Comment